AMANPALESTIN.ID — Pada prinsipnya, hukum humaniter internasional (HHI) hanya berlaku selama konflik bersenjata. HHI merupakan upaya untuk mengatur perilaku permusuhan selama konflik bersenjata berlangsung guna mengurangi penderitaan pasukan perang. Pada dasarnya, HHI tidak melarang jenis kekerasan saat perang berlangsung, pun tidak melarang terjadinya perang. HHI hanya mengatur tentang pihak yang terlibat perang supaya memperhatikan aspek kemanusiaan dan menjamin perlindungan bagi orang yang tidak terlibat dalam pertempuran serta objek-objek tertentu yang harus dilindungi.
HHI mengandung standar yang harus dipenuhi dan dihormati dalam peperangan. Apabila pihak yang bertikai tidak mampu menghormati aturan yang ada, masyarakat internasional berhak mengambil langkah guna meluruskan penyimimpangan-penyimpangan terhadap aturan yang berlaku.
Di tingkat internasional, Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) merupakan salah satu lembaga dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mampu menjamin adanya penghormatan dan kepatuhan terhadap norma HHI serta menegakkan hukum bagi pelanggaran-pelanggaran serius yang terjadi saat pertempuran. Terhadap enam prinsip dasar HHI yang harus dihormati oleh setiap negara yang bertikai.
Pertama, prinsip pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan. Dalam prinsip ini ditegaskan bahwa penyerangan secara langsung hanya diperbolehkan kepada kombatan atau prajurit. Tercantum dalam pasal 48 dan 52 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 menetapkan: kombatan dan objek militer adalah yang secara sah dapat diserang. Setiap serangan yang dilancarkan kepada warga sipil atau objek warga sipil dikategorikan sebagai kejahatan perang dan berhak ditindaklanjuti oleh ICC. Senjata yang tidak mampu membedakan antara warga sipil dan kombatan juga dilarang digunakan dalam peperangan.
Kedua, prinsip larangan menyerang terhadap hors de combat. Hors de combat adalah kombatan yang tidak lagi terjun ke medan dikarenakan sakit, terluka, terdampar atau menjadi tawanan perang. Ditegaskan dalam pasal 41 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 bahwa seseorang yang diakui, atau dalam keadaan harus diakui sebagai hors de combat dilarang menjadi objek serangan. Apabila seorang tentara menyerah karena terluka dan dianggap tidak menimbulkan ancaman, maka perlindungan berhak atasnya.
Ketiga, prinsip larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Prinsip ini juga disebut dengan prinsip pembatasan atau principle of limitation, merupakan prinsip fundamental dalam metode dan penggunaan alat perang. HHI memang tidak melarang peperangan, juga tidak melarang terjadinya kekerasan. Hanya saja, kekerasan yang dilakukan tidak menimbulkan cedera yang berlebihan. Kombatan yang diperbolehkan untuk diserang pun dilindungi oleh larangan ini. Dalam prinsip ini diatur agar perang hanya ditujukan untuk melemahkan kekuatan militer lawan. Contoh senjata yang dilarang digunakan dalam perang adalah senjata laser karena dapat menyebabkan kebutaan.
Keempat, prinsip proporsionalitas. Berdasarkan prinsip ini, setiap serbuan dalam operasi militer harus dilakukan bersamaan dengan upaya untuk menjamin tidak adanya korban ikutan yang besar dari pihak sipil dalam bentuk apapun dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh langsung dari serbuan. Pelaksanaan prinsip proporsionalitas ini juga ditujukan untuk melindungi lingkungan. Artinya, setiap pertempuran yang dilangsungkan harus mempertimbangkan keselamatan lingkungan. Ketentuan yang mengatur tentang prinsip proporsionalitas ini ditegaskan dalam Protokol Tambahan I pasal 51 (5)(b) dimana negara dan pasukan perang yang telah menemukan sasaran militer yang jelas, tetap tidak diperbolehkan menyerang apabila serangan mengakibatkan banyak kematian sipil.
Beberapa pakar menjelaskan tentang tiga hal yang dapat membantu mengenali prinsip proporsionalitas. Pertama, serangan militer harus cukup mewakili dan cukup beralasan untuk dilakukan demi tercapainya kepentingan militer. Kedua, aksi militer tidak diperbolehkan menyebabkan banyak kematian dan kerusakan properti diluar kendali militer. Ketiga, adanya keseimbangan antara serangan militer dan kesadaran kemanusiaan.
Kelima, gagasan tentang kepentingan. Kepentingan militer seringkali berbenturan dengan keselamatan dan keamanan manusia. Demi kepentingan militer, seorang prajurit dapat melakukan penyerangan tanpa ampun kepada pihak lawan. Dibawah hukum perang, mempertimbangkan kepentingan kemenangan merupakan hal absah dilakukan. Namun, meski berada dibawah hukum ini, tidak diperbolehkan kepada prajurit untuk melakukan penyerangan secara membabi-buta tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan.
Hal ini tercantum dalam pasal 52 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa I 1949. Terdapat tiga elemen utama dalam prinsip kepentingan, yaitu; (1) Pasukan perang diperbolehkan melakukan tindakan untuk kepentingan militer; (2) Pasukan perang digunakan selama pasukan mampu menjamin berakhirnya perang; (3) Tindakan yang dilakukan tidak melanggar hukum dan ketetapan perang yang berlaku.
Keenam, prinsip kemanusiaan. Prinsip ini bertujuan untuk menjamin penghormatan manusia. Dalam prinsip ini, dilarang menggunakan kekuatan perang yang tidak mengacu pada tercapainya keuntungan militer yang nyata. Disamping itu, prinsip ini juga menegaskan untuk memberikan bantuan terhadap pasukan yang terluka di medan perang tanpa diskriminasi. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menghormati dan menghargai manusia lain sekalipun musuhnya.
Prinsip dan gagasan tentang kemanusiaan merupakan hal penting yang harus diulas, karena inilah yang membedakan antara manusia dan binatang. Tidak hanya HHI, agama-agama besar serta budaya telah meletakkan prinsip kemanusiaan sebagai pilar-pilarnya. HHI hanya dimaksudkan untuk meminimalisir kerugian perang.
Beberapa sumber menyebutkan prinsip lain dalam HHI, yaitu prinsip pemisahan antara Jus Ad Bellum dan Jus In Bello. Jus Ad Bellum merupakan seperangkat kriteria yang harus diperhatikan guna mengklasifikasikan suatau konflik, apakah konflik tersebut merupakan konflik bersenjata atau bukan. Sehingga mampu ditentukan hukum yang harus berdiri ditengah konflik tersebut. Sedangkan Jus In Bello dapat diartikan sebagai International Humanitarian Law atau Hukum Humaniter Internasional sendiri. Sehingga hukum tersebut mengatur tentang peraturan dalam peperangan bersenjata. Dalam prinsip ini, Jus In Bello tidak dipengaruhi oleh Jus Ad Bellum.
Keenam prinsip dasar hukum humaniter internasional tersebut harus dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Sebagai wujud perlindungan dasar bagi manusia sebagai makhluk yang dikaruniai harkat dan martabat yang lebih tinggi dibandingkan makhluk hidup lainnya. Adanya kesadaran, pemahaman dan ikut berperan aktif dalam penegakan prinsip-prinsip dasar HHI oleh negara merupakan wujud implikasi seluruh negara sebagai anggota masyarakat internasional.
REFERENSI
Mohammad Naqib Ishan Jan, A. L. (2015). International Humanitarian Law. Malaysia: IIUM Press.
Simarmata, M. H. (2018). Pentingnya Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Jurnal Legislasi Indonesia, 124-125.