Perkembangan Prinsip Hukum Humaniter Internasional

AMANPALESTIN.ID — Menurut Mochtar Kusumaatmadja, sungguh miris melihat kenyataan bahwa manusia lebih banyak mengenal sejarah perang dibandingkan dengan perdamaian. Dapat dikatakan berdasarkan sejarah bahwa manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian selama 3400 tahun sejarah tertulis. Oleh karena itu, meskipun perang merupakan sesuatu yang sangat dibenci umat manusia, namun hal tersebut rupanya telah menjadi teman perjalanan dari sejarah yang telah tertulis.

Pada dasarnya, Hukum Humaniter tidak mengatur tentang larangan perang melainkan mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang. Maka dari itu, para pihak wajib menghormati Prinsip Kemanusiaan, Prinsip Proporsionalitas dan Prinsip Pembedaan secara bersamaan dalam perang. Prinsip Pembedaan atau yang dikenal dengan istilah distinction principle merupakan pemberian batasan kepada kombatan yang terlibat dalam konflik bersenjata dan perlindungan bagi penduduk sipil.

Banyak peneliti ataupun ahli hukum yang menjadikan gagasan Henry Dunant sebagai titik awal sejarah perkembangan awal Hukum Humaniter Internasional. Selain itu, berdirinya ICRC pada tahun 1863 juga memperkuat bukti bahwa hukum humaniter internasional mulai berkembang pada saat itu. Seperti yang diketahui bahwa Konvensi Jenewa 1864 dilatarbelakangi oleh ide Henry Dunant setelah dirinya terlibat dalam aksi kemanusiaan selama pertempuran Solferino di Italia pada tahun 1859. Dari pengalamannya tersebut, Dunant kemudian membuat sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino yang kemudian menjadi inspirasi dalam pembetukan ICRC. Kemudian, pada tahun 1901, Henry Dunant mendapatkan Perhargaan Nobel atas dedikasinya bagi misi kemanusiaan bersama dengan Frederic Passy.

Namun, jika ditinjau dari segi sejarah, gagasan mengenai pentingnya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam perang telah ada jauh sebelum Henry Dunant muncul. Para ahli sejarah bahkan meninjau bahwa gagasan tersebut telah ada dalam sejarah peradaban manusia. Menurut Ladislau-Levente Koble, aturan-aturan mengenai bagaiman bertarung, keharusan memberikan peringatan, waktu persiapan, penggunaan senjata, kondisi gencatan senjata dan lain sebagainya telah ada sejak zaman primitif sekalipun. Para ahli sejarah HHI bahkan mengakui bahwa upaya kodifikasi secara sederhana mengenai aturan perang sudah dapat ditelusuri sejak zaman Babilonia dipimpin oleh Raja Hammurabi pada tahun 1696-1654 SM.

Selain di zaman Babilonia, berikut perkembangan HHI di berbagai peradaban yang lain:
1. Yunani Kuno (700-450 SM). Perang antar negara-negara kota (city-states) telah diatur oleh hukum-hukum kebiasaan yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan perang dan seberapa jauh mengalahkan pasukan boleh dicapai. Aturan-aturan ini dipengaruhi oleh Plato dalam bukunya Republic.
2. Kitab Perjanjian Lama (Old Testament). Terdapat anjuran untuk orang Yahudi agar tidak membunuh musuh yang telah menyerah, dan memberikan perlindungan pada prajurit yang terluka, wanita dan anak-anak.
3. India. Terdapat Hukum Manu yang diyakini telah ada 200 SM. Hukum ini banyak dipercaya oleh ahli HHI sebagai kode hukum pertama yang tertulis di Asia. Hukum Manu juga merupakan sebuah hibrida dar kode moral, agama, dan hukum meskipun pada dasarnya merupakan ajaran dari agama Hindu. Selain itu, hukum ini juga mengatur hubungan antarkasta dan perilaku peperangan serta menguraikan jenis-jenis persenjataan yang tidak boleh dipakai dalam perang.
4. Islam. Dalam islam, perang bukan merupakan tindakan tanpa aturan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 193: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan ketaatan itu semata-mata hanya milik Allah.Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.” Dalam kalimat ‘jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada lagi permusuhan’ selaras dengan prinsip HHI modern yang menegaskan bahwa tentara yang tidak lagi mengambil bagian dalam pertempuran harus dilindungi.
5. China. Gagasan kemanusiaan (rendao shuyi) yang merupakan salah satu etika Konfusianisme yang berhubungan langsung dengan norma humanitarian adalah Ren (dapat diterjemahkan sebagai kebajikan, kerendahan hati, kebaikan, kedermawanan dan saling cinta antara dua manusia). Dalam pemikiran China tradisional, terdapat istilah Mandate of Heaven yang merupakan simbol dari otoritas kaisar dalam peradaban China tradisional yang menggagaskan bahwa penggunaan kekuatan hanya akan menampakkan kelemahan moral dari kaisar dan ia akan kehilangan Mandat dari Surga. Kemenangan dalam perang tidak diperoleh melalui kekerasan, tetapi melalui siasat yang bermoral. Pemikiran ini merupakan paralel dengan aturan HHI modern yang melarang metode peperangan melalui teknik-teknik pengelabuan.
6. Kekaisaran Romawi. Cicero dalam karyanya De Officiis yang terbit tahun 44 SM berpendapat bahwa standar-standar tertentu harus diperhatikan dalam pelaksanaan perang. Ia berpendapat bahwa pasukan yang berperang harus menahan diri dari menimbulkan kehancuran yang tidak perlu atas wilayah-wilayah pendudukan dan menangkap lawan secara brutal selama pertempuran. Cicero bersama Seneca juga menyatakan doktrin kesetaraan antar manusia dan mengutuk perbudakan, yang secara otomatis mempromosikan semangat humanistik. Ini sekaligus menjadi tahap awal yang tertulis yang ‘mendesak’ negara-negara untuk menghormati hukum dari toleransi.

Memasuki abad ke-5, Saint Agustinus mengeluarkan doktrin yang sangat terkenal yaitu Just-War Doctrine yang mengatur prinsip kemanusiaan dalam peperangan. Doktrin ini disebut sebagai sebuah aturan dan sebagai tradisi serta etika militer yang dipelajari oleh para teolog Kristen, ahli etika, pembuat kebijakan, dan para pemimpin militer. Tujuan dari doktrin ini adalah untuk memastikan perang secara moral dibenarkan sepanjang mengikuti serangkaian kriteria. Kriteria tersebut dibagi menjadi dua, yaitu; “hak untuk berperang” (jus ad bellum) dan “perilaku yang benar dalam perang” (jus in bello).

Perkembangan Prinsip HHI Pasca-Abad Pertengahan
Salah satu karya modern yang paling penting tentang HHI terjadi pada era pasca-Abad Pertengahan adalah tulisan Hugo Grotius berjudul On The Law of War and Peace (1625) yang terdiri dari dua buku. Buku pertama memusatkan perhatian tentang bagaimana sebuah perang secara adil layak dihargai (jus ad bellum) dan yang kedua adalah perilaku apa yang diperbolehkan setelah perang dimulai (jus ad bello).

Grotius menegaskan bahwa konflik-konflik bersenjata harus selalu dilaksanakan dengan sebuah pandangan untuk menciptakan perdamaian yang abadi, kembali meletakkan landasan bagi prinsip-prinsip humanitarianisme modern.

Sebelum memasuki abad ke-19, perkembangan prinsip-prinsip HHI juga dapat ditemukan dalam perang kemerdekaan Amerika pada 1776. Saat itu Panglima Angkatan Perang Inggris, Sir James Robertson, mengirimkan sebuah surat kepada Jenderal Washington dari Angkatan Perang AS, yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip kemanusiaan dalam perang. Jenderal Washington menanggapi dengan baik surat ini, dan mempertukarkan sejumlah persetujuan untuk melaksanakan konflik sesuai aturan-aturan perang.

Meskipun gagasan dan aturan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan dalam perang sudah berkembang sejak peradaban kuno, tetapi upaya-upaya untuk mengkodifikasi hukum perang dan HHI pada umumnya baru mulai berlangsung secara serius pada abad ke-19.

Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional sejatinya telah ada jauh sebelum ICRC didirikan. Didalam berbagai peradaban, Hukum Humaniter telah banyak mengatur mengenai aturan-aturan perang untuk menjaga sisi humanis dari tiap manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi setiap zamannya menjadikan prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter juga berubah setiap saatnya, hingga ditetapkan seperti prinsip dasar HHI yang saat ini memiliki enam prinsip.

Setiap dasar prinsip tersebut dapat ditemukan dalam aturan-aturan dan norma-norma khusus HHI itu sendiri. Prinsip-prinsip itu juga dapat membantu penafsiran hukum ketika kita menemui sebuah masalah hukum tidak jelas atau kontroversial. Selain itu, keseimbangan antara prinsip dan kepentingan dapat bergeser atau berubah. Sebagai contoh, selama situasi permusuhan, kebutuhan militer dapat membatasi gagasan kemanusiaan dengan membiarkan terjadinya sebuah kehancuran. Dalam situasi lain seperti ketika mewajibkan perlindungan korban luka dan sakit, prinsip kemanusiaan adalah jantung dari aturan HHI.

REFERENSI

Bakry, U. S. (2019). Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenadamedia Group.

Danial. (2016). Efektifitas Konsep Prinsip Pembedaan Hukum Humaniter Internasional Sebagai Upaya Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Modern. Jurnal Media Hukum Vol. 23 No. 2, Desember, 201.

Mohammad Naqib Ishan Jan, A. L. (2015). International Humanitarian Law. Malaysia: IIUM Press.

Simarmata, M. H. (2018). Pentingnya Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Jurnal Legislasi Indonesia, 124-125.

YAPI Media
Share this post:
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments