Menyantuni Anak Yatim di 10 Muharram, Bagaimana Hukumnya?

Menyantuni anak yatim pada 10 Muharram, bagaimana hukum sebenarnya dalam Islam?

Oleh: Usin Susanto Artyasa, S.E., M.M.

Salah satu amalan yang “konon” sangat istimewa pada bulan Muharram adalah menyantuni anak yatim.

Kata “al yatîm” disebut 9 kali; sedangkan bentuk jamaknya, “al yatâmâ” disebut lebih banyak, yaitu 13 kali. Sekalipun penyebutan “al yatâmâ” sering berurutan dengan sebutan “al masâkîn”. Namun, anak yatim tidak termasuk ke dalam “tsamâniyah ashnâf” yang berhak menerima dana zakat (lihat QS 9: 60).

Jadi, saat seseorang menyatakan bahwa anak yatim termasuk mustahik. Sekali lagi, sebabnya, Al Quran tidak menyebut “al yatâmâ” sebagai salah seorang yang berhak mendapatkan dana zakat. Bukankah berkemungkinan anak yatim ditinggalkan oleh ayahnya dengan harta berlimpah?

Di sini, “cara berpikir” Al Quran sungguh sangat menakjubkan. Ia memandang sesuatu dengan sangat dalam dan futuris. Itulah sebabnya, untuk menetapkan seseorang berhak atau tidak berhak mendapatkan dana zakat, ia harus masuk ke dalam kelompok “al fuqorô’u” atau “al masâkîn”; bukan karena keyatimannya.

Penyebutan anak yatim sebagai salah satu pihak yang berhak mendapatkan santunan bisa diambil dari pos nonzakat, misalnya, infak atau sedekah lainnya. Tapi, secara umum, tindakan peduli dalam bentuk pemberian santunan atau perhatian terhadap anak yatim merupakan bagian dari perbuatan “ihsan”. Di sisi lain, “ihsan” atau berbuat baik merupakan salah satu cara untuk membuka akses datangnya rahmat Allah (QS 7: 56).

Masalahnya, apakah tindakan memberi perhatian khusus dan atau kepedulian kepada anak yatim hanya ditetapkan pada bulan Muharram?

Terdapat sebuah hadis dalam kitab Tanbihul Ghafilin:

من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة


“Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat.”

Hadis ini menjadi motivator utama masyarakat untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Maka, banyak tersebar di masyarakat anjuran untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Bahkan, tidak sedikit dari masyarakat yang menjadikan hari Asyura ini sebagai hari istimewa untuk anak yatim.

Sayangnya, hadis di atas statusnya adalah hadis palsu. Dalam jalur sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang bernama Habib bin Abi Habib, Abu Muhammad. Para ulama hadis menyatakan bahwa perawi ini matruk (ditinggalkan). Untuk lebih jelasnya, berikut komentar para ulama kibar dalam hadis tentang Habib bin Abi Habib:

a. Imam Ahmad: Habib bin Abi Habib pernah berdusta
b. Ibnu Ady mengatakan: Habib pernah memalsukan hadis (al-Maudhu’at, 2/203)
c. Adz Dzahabi mengatakan: “Tertuduh berdusta.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207).

Maka, ulama menyimpulkan bahwa hadis ini hadis palsu. Abu Hatim mengatakan: “Ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya.” (al-Maudhu’at, 2/203).

Tapi, harap dipahami bahwa keterangan di atas sama sekali bukan untuk mengingkari fadhilah (keutamaan) menyantuni anak yatim. Tidak juga untuk melarang untuk bersikap baik kepada anak yatim. Sama sekali bukan. Bukan itu yang dimaksud oleh penulis.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa menyantuni anak yatim itu satu amal yang mulia. Ia termasuk “afdholu a’mâl” yang sebaiknya menjadi kebiasaan bagi setiap Mukmin. Sebab, Nabi SAW. sendiri menjanjikan balasan yang sangat istimewa bagi para “kâfil” yatim, seperti dalam sebuah hadis:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ , وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى , وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَلِيلاً


“Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga. (Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau memisahkannya sedikit).” (HR Bukhari, 5304).

Dalam hadits shahih ini, Nabi SAW. menyebutkan keutamaan menyantuni anak yatim secara umum. Tanpa menyebutkan waktu khusus. Artinya, keutamaan menyantuni anak yatim itu berlaku kapan saja. Maka, kita tidak boleh meyakini adanya waktu khusus untuk ibadah tertentu tanpa dalil yang shahih. Misalnya, bulan Muharram.

Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah terkait masalah ‘batasan tata cara ibadah’ yang penting untuk kita ketahui:

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة


“Semua bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syariat berdasarkan dalil umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak ini dengan waktu, tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimana akan muncul sangkaan bahwa batasan ini merupakan bagian ajaran syariat, sementara dalil umum tidak menunjukkan hal ini maka batasan ini termasuk bentuk bid’ah.” (Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 52)

Karena pahala dan keutamaan amal adalah rahasia Allah, yang hanya mungkin kita ketahui berdasarkan dalil yang shahih. Maka, kesimpulannya, menyantuni anak yatim itu perbuatan yang sangat baik dan mulia. Ia menjadi bagian dari “al ‘aqobah”. Tapi, tidak ada satu pun hadits yang menetapkan bulan dan waktu khusus yang dipandang utama untuk bersedekah.

YAPI Media
Share this post:
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Zahra Artyasa
Zahra Artyasa
1 year ago

MaasyaaAllah