Istilah Western Society atau masyarakat Barat juga seringkali disamakan dengan istilah budaya Barat, dunia Barat atau peradaban Barat. Keseluruhannya memiliki artian sebagai warisan dari norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat kebiasaan, sistem kepercayaan, sistem politik yang berasal dari Dunia Barat dan erat hubungannya dengan Eropa. Istilah-istilah tersebut juga berlaku bagi wilayah luar Eropa untuk negara dan budaya yang memiliki sejarah kuat dengan Eropa melalui imigrasi, kolonialisasi seperti negara-negara di Amerika Utara (Kanada dan Amerika Serikat). Budaya Barat sangat kuat dipengaruhi oleh budaya Yunani-Romawi dan Kristen.
Kebangkitan masyarakat Barat banyak dipengaruhi oleh masa Renaissance. Zaman tersebut menjadi era baru sekaligus zaman yang memiliki sumbangsih besar terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk rasional. Masa Renaissance banyak diingat oleh dunia sebagai masa kebangkitan Barat setelah sebelum Eropa dilanda oleh masa kegelapan (dark age). Pada masa Renaissance, berbagai disiplin ilmu pengetahuan banyak dikembangkan dan dipelajari kembali. Sebelum masa renaissance, dominasi agam sangat kuat. Orang hidup dalam suatu budaya dimana agama menjadi esensial dalam hidup.
Dalam buku A History Western Philosophy, gerakan Renaissance ditujukan untuk merealisasikan kembali apa yang pernah hidup pada zaman Yunani Kuno, yaitu titik tolak segala sesuatu bersumber pada manusia. Manusialah yang menjadi pusat dari segala sesuatu, bukan raja atau Tuhan. Renaissance kemudian menjadi tolak ukur bagaimana masyarakat Barat terbentuk, baik dari pola pikir maupun kehidupan bermasyarakat, hingga saat ini.
Bila melihat kondisi sosial yang terjadi di masyarakat Barat saat ini, bahkan bertahun-tahun sebelumnya, apa yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat serta Australia, sampai pada masa Perang Dunia II, masyarakat mereka hanya mengenal satu kebudayaan, yaitu masyarakat kulit putih yang beragama Kristen. Sedangnya masyarakat di luar itu, menjadi kalangan minoritas dengan segala hak yang dibatasi. Diskriminasi yang diawali dengan diskriminasi ras dan warna kulit (apartheid) ini kemudian terus berkembangan hingga munculnya diskriminasi beragama atau intoleransi beragam terhadap masyarakat Barat. Namun, rupanya intoleransi beragama ini hanya ditujukan pada satu agama, yaitu Islam. Ketakutan dan kebencian Barat terhadap Islam menimbulkan banyak kebohongan dan fitnah yang ditujukan pada umat Islam, sehingga kekerasan dan perlakuan pada masyarakat Muslim kerap kali terjadi.
Salah satu contohnya adalah demo anti-Islam yang dilakukan massa di Norwegia berujung pada bentrok. Seperti dilansir WION News oleh CNN Indonesia, bentrokan terjadi ketika kelompok SIAN (Hentikan Islamisasi di Norwegia) berdemo di Oslo. Mereka berunjuk rasa di dekat gedung parlemen setempat. Aksi tersebut diperparah dengan aksi seorang wanita yang merobek dan meludahi Al-Qur’an. Wanita tersebut sempat menjadi tersangka ujaran kebencian karena melontarkan ucapan yang seolah menantang para pengunjuk rasa tandingan. Aksi tersebut berujung pada bentrok antara kelompok SIAN dengan demonstran tandingan yang membela Islam. Mereka saling melempar batu dan sejumlah kendaraan yang berada di lokasi mengalami kerusakan.
Selain di Norwegia, intoleransi beragama juga dilakukan oleh salah satu penyanyi terkenal dunia asal Amerika, Rihanna. Dunia digemparkan dengan aksinya yang memakai lagu mengandung narasi dari hadits Islam dalam peragaan busananya, Savage X Fenty. Kritik ini mulai berdatangan setelah sejumlah video dari peragaan busana tersebut tersebar di media sosial usai acara tersebut rampung. Dalam sejumlah rekaman, terdengar lagu bertajuk Doom berkumandang untuk mengiringi Rico Nasty berlenggok di atas pentas.
Menurut Graham E. Fuller (dalam buku yang dikarang oleh Mukhijab) yang merupakan mantan wakil ketua Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat dan mantan kepala Stasiun Biro Central Intelligence Agency (CIA) di Kabul, mengulas bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang sering melabeli gerakan atau aktivis negara islam. Ia juga berpendapat bahwa labelisasi agama bersifat subjektif dan politis. Fuller menyebutkan presiden George Washington Bush sebagai presiden yang kerap kali melabeli Islam dengan istilah teroris atau organisasi teroris, islam radikal dan lain sebagainya.
Label radikal terhadap Islam dianggap pula sebagai labelisasi agama. Namun, labelisasi ini hanya berlaku terhadap agama Islam. Sejumlah pihak boleh saja menentang secara verbal atas deskripsi radikal yang serba menjurus itu, tapi diakui atau tidak, konotasi kuat mengenai istilah radikal selalu tertuju pada islam dan umatnya. Kadang terjadi paradoks atau ambigu. Ketika ada tindakan serupa di tempat dan golongan lain, nyaris tidak dikategorikan sebagai radikal atau radikalis karena bukan dari agama atau golongan Islam.
Perbedaan labelisasi ini terasa ketika kelompok tertentu yang mengangkat senjata dan memekikkan slogan merdeka di suatu daerah dan melakukan anarki, belum disebut radikalis atau teroris. Mereka malah tidak disebut separatis. Hanya disebut sebagai pengacau keamanan dan kelompok kriminal bersenjata. Sedangkan ketika orang islam berujar rela mati demi agama, sontak label radikal tertuju padanya. Kata jihad pun menjadi negatif dan seringkali dipautkan dengan radikalisme.
Labelisasi radikalis terhadap Islam, melakukan aksi demo anti-Islam dan melecehkan hadits Nabi seperti yang dilakukan Rihanna merupakan beberapa bukti bahwa intoleransi beragama masih sangatlah sering terjadi di Barat. Intoleransi agama ini banyak dilakukan khusus terhadap Islam, bahkan hingga menimbulkan istilah Islamofobia, yaitu ketakutan terhadap Islam. Padahal, Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin. Islam tentunya merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi persatuan umat seluruh alam dan menghindari adanya pengkotak-kotakkan kelompok atau komunitas dalam umatnya.
REFERENSI
(2020, Januari 13). Diambil kembali dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200831154225-134-541210/demo-anti-islam-di-norwegia-berujung-bentrokan
(2020, Januari 13). Diambil kembali dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20201006064304-234-554738/rihanna-dikecam-karena-pakai-hadis-untuk-peragaan-busana
Marvin Perry, d. (2012). Peradaban Barat: Sejak 1400.
Mukhijab. (2017, Januari 19). Label Islam Radikal. Diambil kembali dari Jawapos.com: file:///C:/Users/asus/Downloads/Label%20Islam%20Radikal.html
Nashir, H. (2018, September 23). Paradoks Radikalisme. Diambil kembali dari republika.co.id: https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/09/23/pfhk0u440-paradoks-radikalisme
Nurdin, A. (2015). Kegagalan Politik Multikulturalisme dan Perkembangan Islamofobia di Negara-negara Barat. Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 4, Juli, 349-350.