Drama Korea ‘Start Up’: Quarter Life Crisis & Gambaran Pemuda Masa Kini

Poster Start Up yang tayang tahun 2020/Instagram @skuukzky

Pada tahun 2020, banyak orang yang membicarakan drama Korea, Start Up yang dibintangi Nam Joo Hyuk dan Bae Suzy. Tidak hanya pecinta drakor, masyarakat yang tidak terlalu familiar dengan drakor juga dibuat penasaran dengan alur ceritanya. Drama Korea yang mengisahkan para pemuda dalam usahanya mendirikan perusahaan rintisan dan segala proses yang harus dilalui.

Nam Joo Hyuk berperan sebagai Nam Do San. Seorang programmer AI yang pernah menjuarai Olimpiade Matematika sebagai peserta dengan umur termuda. Baginya, bahasa pemrograman merupakan bahasa yang paling nyaman, sehingga ia senang dengan apa yang ingin ia capai sebagai mimpinya.

Bukan hanya ceritanya yang memiliki banyak makna tentang keluarga dan arti berproses, tapi yang paling menarik perhatian adalah tokoh karakter Nam Do San yang ‘cukup’ realistis dengan karakter pemuda masa kini. Karakter yang sangat realistis dibandingkan drama korea lainnya jika dikaitkan dengan pemuda masa kini.

Nam Do San dikarakterkan sebagai seorang pemuda yang memiliki mimpi untuk menjadi seorang programmer dan pebisnis. Mimpinya adalah memasuki Sandbox, sebuah tempat pengembangan pebisnis dimana para pemuda dilatih dan dididik bagaimana mendirikan sebuah perusahaan. Do San umur pertengahan 20 merupakan seorang programmer cerdas dan pendiri perusahaan kecil bernama Samsan Tech. Perusahaan ini ia dirikan bersama kedua temannya bernama Kim Yong San dan Lee Chul San.

Perusahaan ini mulai memasuki Sandbox lewat aplikasi pengenalan wajah yang dibuat dengan segala perjuangannya. Namun, meskipun cerdas dalam bidang IT, rupanya Nam Do San menjadi begitu kaku dan tidak mengetahui banyak mengenai trend masa kini sehingga dirinya tak bisa menjadi CEO. Karena untuk menjadi CEO, ia harus mengetahui trend masa kini.

Selain cerdas, Nam Do San juga digambarkan sebagai seorang yang rendah hati, jujur, dan tulus. Dirinya lebih memilih kalah dari siapapun karena baginya, kalah itu menenangkan. Baginya, kalah tidak akan menjadikan bebannya bertambah berat. Namun, di satu sisi, justru dari sering mengalahnya itu, ia kerap kali terbebani karena harus menjadi kebanggaan orang tuanya. Dari sinilah, ia seringkali merasa minder/insecure bahwa dirinya tidaklah hebat. Dirinya tidaklah sempurna. Dirinya bukanlah anak yang berbakti. Padahal, kecerdasan yang ia miliki tak bisa dibandingkan dengan kedua temannya, Chul San dan Yong San.

Hal inilah yang terjadi pada anak muda zaman sekarang. 

Insecure adalah momok bagi kita yang masih berada di usia 20-an. Ketakutan kita terhadap perbedaan yang sebenarnya tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Perbedaan yang menurut kita diartikan sebagai kekurangan diri yang perlu dipenuhi, bahkan mungkin dengan menghalalkan segala cara. Perbedaan yang bahkan, tidak melirik bagaimana kita memiliki potensi yang lebih untuk dikembangkan dibandingkan dengan melihat bagaimana kelebihan orang lain. Perbedaan ini yang kemudian menghantui setiap pikiran anak milenial, bahkan tanpa kita sadari.

Kita kerap kali takut untuk berproses dan terlalu menjadi seorang penakut akan masa depan. Rasa juang kita mulai hilang dan lebih menjadi seorang penikmat dibanding pejuang. Mungkin saja karena kita tidak tahu bahwa proses itu yang akan membentuk kematangan dan kedewasaan diri. Hasilnya tidak akan hanya terjadi dalam waktu 1-2 tahun. Tetapi, waktu yang lebih panjang dari itu untuk membentuk bagaimana kematangan diri kita. Terutama, 25 tahun lagi, kesiapan diri kita akan dipertarungkan dan dipertaruhkan dengan bonus demografi.

YAPI Media
Share this post:
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments