AMANPALESTIN.ID — Agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Agama bukan saja mengatur tatanan kehidupan manusia, tetapi juga menjadi jiwa bagi manusia itu sendiri. Pada dasarnya, semua ajaran agama mengajarkan mengenai kebaikan. Namun, tidak semua agama yang dianggap baik itu dapat sejalan. Bahkan, sesekali akan ada pertentangan antar agama karena apa yang benar menurut manusia belum tentu benar menurut Tuhan.
Menurut seorang ahli sosiologi agama bernama Joachim Wach, ia menyatakan bahwa ada dua pandangan mengenai kehadiran agama dalam masyarakat. Pertama adalah pandangan positif, dimana agama memiliki andil penting dalam berperan sebagai faktor integrasi. Agama dengan nilai sakralisasi, sistem kepercayaan yang baku dan organisasi keagamaan dalam hubungan masyarakat memiliki ikatan yang kuat bagi masyarakat. Sedangkan pandangan kedua adalah pandangan negatif. Pandangan ini merujuk pada pandangan bahwa agama yang hadir membawa nilai dan norma sakral dan sistem kepercayaannya, lama-lama akan membentuk sebuah komunitas keagamaan yang berbeda dengan pemeluk lain. Rasa kompetitif terhadap agama atau keyakinan siapa yang paling benar akan muncul dan menganggap agama lain salah.[1] Hal inilah yang akan menjadi agama sebagai sesuatu yang salah di hadapan orang-orang yang tidak sepenuhnya paham dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam agama itu sendiri.
Kata agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.[2] Sedangkan, kata agama sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Inggris religion yang asal katanya religio (bahasa Latin). Kata religio terdiri dari re dan ligare yang berarti “kembali” dan “mengikat”. Maka dapat disimpulkan bahwa religio bermakna pengikatan diri.[3]
Sedangkan kata agama, menurut Harun Nasution diartikan sebagai ikatan. Agama tentu mengandung arti ikatan yang harus dipatuhi dan dipegang manusia. Ikatan tersebut memiliki pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Suatu kekuatan metafisik yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra. Agama secara terminologi didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari pada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.[4]
Kemudian modernisasi digaungkan Barat untuk menciptakan the new world order (tatanan dunia baru). Modernisasi yang dilakukan oleh Barat bukan hanya dilakukan dari aspek politik saja, melainkan ideologi, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya. Pasca Perang Dingin, ideologi dan ekonomi bukan lagi berperan dalam perebutan kekuasaan, melainkan budaya. Pada masa Perang Dingin, konflik antara kedua negara super power tidak mendefinisikan negara masing-masing sebagai negara bangsa dalam artian klasik, melainkan mendefinisikan negara mereka berdasarkan ideologi mereka, seperti komunis dan liberalis. Budaya kemudian akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik. Konflik ini kemudian berubah menjadi konflik global dimana hal ini terjadi karena perbedaan peradaban mereka. Konflik peradaban ini dianggap Huntington akan menjadi fase terakhir dari evolusi konflik dalam dunia modern.[5] Hal inilah yang melatarbelakangi pemikiran Huntington mengenai benturan peradaban dalam bukunya The Clash of Civilization.
Clash berarti benturan. Huntington berasumsi bahwa akan ada semacam pertentangan antar peradaban yang merupakan entitas kultural menggantikan entitas negara. Ada sekitar 8 hingga 10 peradaban yang akan mendominasi tatanan politik dan konflik dunia. Masing-masing dari wujud peradaban tersebut memiliki sejarah yang akan berkonflik dengan peradaban lain. Seperti Barat yang memiliki konflik dengan Islam, Ortodoks, Sino, sedikit dengan Hindu, dan sedikit sekali dengan Amerika Latin dan Afrika. Islam-lah yang kemudian menjadi agama dengan hubungan yang paling buruk dengan Barat. Huntington percaya bahwa permasalahan utama terletak pada hubungan Barat dengan pihak lain, dimana adanya sikap antipati pada usaha-usaha Barat untuk melakukan modernisasi dan menyebarkan kebudayaan Barat. Dalam tahap modernisasi ini, Barat juga berusaha untuk memodernkan sains dengan cara sekularisasi, yaitu memisahkan integrasi sains dan agama. Hal inilah yang tidak bisa diterima Islam karena Islam berlandaskan pada Tauhid yang mengintegrasikan sains dan agama, sedangkan Barat mengaku dan berdiri di atas landasan sekularisme.[6] Pada akhirnya, hubungan Islam dan Barat tak pernah berjalan lancar, bahkan hingga saat ini. Ketakutan-ketakutan Barat terhadap Islam kemudian memunculkan istilah Islamophobia dan menjadi ketakutan global terhadap agama Islam. Hal inilah yang membuat benturan peradaban terus berlanjut hingga saat ini.
Pada dasarnya, benturan peradaban merupakan suatu keniscayaan yang akan terjadi. Benturan peradaban yang paling serius dan sudah terjadi sejak lama adalah konflik antara Islam dan Barat. Kedua peradaban ini memiliki karakteristik untuk bersaing dan menimbulkan konflik. Perbedaan keyakinan dan prinsip, dimana ajaran Islam yang berpegang teguh pada Tauhid, sedangkan Barat teguh dengan sekularisasinya karena beranggapan rasio adalah hal utama. Hal ini yang kemudian memicu konflik berkelanjutan.
[1] Syarifuddin, Agama dan Benturan Peradaban, Substantia, Volume 16 Nomor 2, 2016, h. 229-230
[2] KBBI Offline ver. 1.5.1
[3] Syarifuddin, Op.Cit., h. 230
[4] Ahmad Munir Saifulloh, Telaah Korelasi Sains dan Agama Dalam Paradigma Islam, Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10, Nomor 5, 2017, h. 145
[5] Vita Fitria, Konflik Peradaban Samuel P. Huntington (Kebangkitan Islam yang Dirisaukan?), HUMANIKA Vol. 9 No. 1, 2009, h.40-41
[6] Syarifuddin, Op.Cit., h.234-235