Belajar Pada Anbiyaa

Potret anak-anak Palestina yang sedang belajar Al-Qur'an di Majlis

BELAJAR DARI ANBIYA, BELAJAR MENCINTAI ALLAH

Islam memiliki sejarah yang begitu panjang, mulai dari terciptanya Nabi Adam sebagai khalifah pertama di muka bumi, hingga diturunkannya Al-Qur’an sebagai kitab penyempurna kitab yang lain kepada khaatimu-l-anbiyaa, penutup para Nabi yakni Baginda Rasulullah, Muhammad SAW. Sejarah panjang ini juga patutnya dipelajari sebagai kaca perbandingan dan pelajaran agar hidup kita di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik. 

Karena sejatinya, sejarah ada untuk dikenang, dipelajari, direnungkan dan dipahami.

Allah menciptakan Adam sebagai khalifah pertama di bumi tentunya memiliki tujuan, yaitu untuk beribadah kepadanya. Para nabi memiliki sifat-sifat mulia yang Allah berikan untuk menjadi teladan bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Nabi dan Rasul juga seorang manusia, namun kedudukannya berbeda dan didapatkan dari nilai ibadah mereka karena mereka merupakan utusan Allah sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan kepada segenap kaumnya.

BELAJAR MENCINTAI ALLAH DARI NABI IBRAHIM DAN ISMAIL AS.

Kisah nabi Ibrahim dengan anaknya, Ismail didasarkan atas rasa cinta yang besar. Kepada siapa rasa cinta yang teramat sangat besar itu ditujukan, sampai Nabi Ibrahim rela untuk menyembelih anaknya sendiri?

Tak ada cinta yang lebih besar ketimbang cinta kepada Sang Maha Pemberi Cinta, Allah SWT. bagi orang yang beriman dan bertaqwa. Hal itu dibuktikan oleh Nabi Ibrahim AS. yang menyembelih anaknya Ismail AS. atas dasar cinta kepada Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam surat Ash-Shaffat ayat 99 sampai 111:

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111)

Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaffat: 99-111)

Bagi nabi Ibrahim dan Ismail, kecintaan pada Allah harus diutamakan ketimbang cinta kepada anak ataupun keluarga. Inilah yang menjadi pemicu kerelaan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Dari kisah ini, manusia harus sepenuhnya sadar bahwa kesabaran dan keikhlasan akan berbuah kebaikan dan dari peristiwa inilah awal mulanya hari Idul Adha dan qurban.

BELAJAR PERCAYA DIRI PADA NABI MUSA AS.

Nabi Musa berbicara langsung kepada Allah di Bukit Tur dan saat itu pula Allah memerintahkan Nabi Musa untuk pergi menemui Fir’aun. Sebelum menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya, Musa merasa takut bahwa kaumnya mendustakannya, lalu dia berdo’a kepada Allah.

رَبِّ ٱشْرَحْ لِى صَدْرِى وَيَسِّرْ لِىٓ أَمْرِى وَٱحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِى يَفْقَهُوا۟ قَوْلِى

Artinya:

Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Taha ayat 25-28)

Do’a ini merupakan do’a nabi Musa ketika dirinya akan menghadapi Fir’aun yang telah melewati batas karena mengaku sebagai Tuhan dan juga untuk menghentikan kemusyrikan dan kekafiran yang telah dilakukan Fir’aun juga menyakiti kaum Bani Israil. Sebelumnya Bani Israil merupakan kaum nabi Musa yang hidup pada zaman jahiliyyah. Namun dengan pertolongan Allah, Nabi Musa berusaha sekuat tenaga untuk mengubah kaum ini menjadi kaum yang beragama dan beradab.

Percaya diri dalam berjihad di jalan Allah merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Namun, kepercayaan diri itu juga harus dilandasi dengan ketaatan dalam beribadah kepada Allah. Sama seperti Nabi Musa, beliau juga memiliki ketakutan. Namun kepercayaannya akan bantuan dan kehendak Allah-lah yang menjadikannya bisa percaya diri dengan taat lillahi ta’ala.

BELAJAR SABAR DARI NABI AYYUB AS.

Nabi Ayyub AS. dapat dikatakan sebagai nabi yang memiliki tingkat kesabaran yang paling tinggi dari para nabi yang lain. Bagaimana tidak, nabi Ayyub awalnya merupakan seorang nabi yang kaya, memiliki hewan ternak, kekayaan berlimpah, istri yang shalehah dan memiliki banyak anak. Nabi Ayyub juga merupakan seseorang yang baik perangainya dan suka memberi kepada orang-orang miskin dan fakir.

Namun, Allah memberinya ujian berupa penyakit kusta atau lepra yang dideritanya selama 18 tahun lamanya. Seluruh kekayaannya dan hewan ternaknya binasa, anak-anaknya meninggal dan yang tersisa hanyalah istrinya yang mengurusnya selama ia dalam keadaan sakit. Seluruh tubuhnya digerogoti oleh penyakit kecuali hati dan lisannya yang selalu ia pakai untuk berdzikir.

Saking parahnya sakit yang dideritanya,  orang-orang pun menjauhinya. Nabi Ayyub pun mengasingkan diri ke sebuah kota dan hanya berdiam diri bersama istrinya yang merawatnya. Namun, karena istrinya merasa sudah tidak tahan lagi, akhirnya dia mempekerjakan seorang pembantu untuk mengurusi Nabi Ayyub.

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآَتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (84)

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 83-84)

Disebutkan sebuah kisah saat Nabi Ayyub ditanya oleh istrinya, “Wahai Ayyub andai engkau mau berdoa pada Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub pun menjawab, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini hanya sedikit derita yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku, yaitu 70 tahun.”

Nabi Ayyub telah membuktikan bahwa sabar tidak memiliki batas. Manusia sendiri yang sebenarnya membatasi kesabaran itu sendiri. Karena hanya dengan keimananlah, kesabaran yang tinggi itu dapat diperoleh.

BELAJAR DERMAWAN DARI BAGINDA RASUL, MUHAMMAD SAW.

Baginda Rasul, Muhammad SAW. adalah rasul yang paling pandai bersedekah. Sifat ini merupakan sifat Nabi Muhammad saw. karena yang ada di dirinya hanyalah akhlak yang baik.

Sayyidah Aisyah RA, meriwayatkan:

كان النبي صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير, وكان أحود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل, فلرسول الله صلى الله عليه وسلم أجود من الريح المرسلة

Nabi  adalah manusia yang paling banyak memberikan kebaikan. Kedermawanan beliau mencapai puncaknya pada Bulan Ramadhan, ketika Malaikat Jibril menemuinya. Ketika itu, sungguh Rasululah lebih cepat memberi daripada angin yang bertiup kencang. (HR Bukhori-Muslim)

Pernah dikisahkan seseorang yang hidup di zaman Rasul, saat itu dirinya memiliki keperluan pada Rasulullah. Namun, saat itu Rasul tidak memiliki apapun untuk diberikan. Meskipun begitu beliau tidak membiarkan orang itu pulang dengan tangan hampa. Akhirnya, beliau berkata kepada orang itu untuk berhutang atas nama dirinya.

استدن علي

Berhutanglah atas namaku. (HR Thabrani)

“Seseorang yang suka memberi, pasti memiliki cinta. Tapi, orang yang memiliki cinta belum tentu bisa memberi.”

Banyak sekali hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran kehidupan dari para Nabi terdahulu. Mereka-mereka itulah para penyeru kebahagiaan dan penyeru peringatan untuk mengingatkan manusia agar tidak tergerus secara terus-menerus dalam kelalaian dan terlena akan nikmat dunia. Karena dunia ini sesungguhnya hanyalah tempat persinggahan.

Mari kita berbenah diri dan bersiap untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, terutama lebih baik dalam beribadah dan taat pada Sang Maha Pemberi Cinta.

*Diambil dari berbagai sumber

YAPI Media
Share this post:
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments